“Dinda...Aldy...Ayo
segera turun, makan pagi sudah siap sayang.”teriak mama mengagetkanku yang
sedang asyik memahami rumus matematika untuk ujian hari ini.
Segera
kututup buku sakuku dan kupaksakan kakiku melangkah menuju ruang makan. Sejenak
aku melihat beberapa hidangan pagi ini, hanya ada nasi goreng, roti bakar, ayam
goreng dan telur dadar serta segelas susu coklat favoritku.
“Yah,
kok ayam lagi sih Ma. Aku makan roti aja deh.”keluhku
“Roti
itu untuk kak Aldi sayang, Kamu kan hari ini ujian, harus makan nasi ya.”
“Dinda,
di luar sana banyak anak-anak yang ingin makan ayam goreng. Kamu hargai masakan
Mama pagi ini ya, makan seadanya nggak usah mengada-ngada. Oke bawel.” Nasihat kak
Aldy sambil mengusap rambutku yang terurai panjang selembut sutra.
Sebelum
mendengar tambahan nasihat dari Papa yang sedari diam dari tadi. Aku segera
mengambil Nasi goreng dan telur saja tanpa Ayam, karena aku sudah bosan dengan
hewan ovipar satu ini. Bagaimana tidak? Hampir seminggu ini, kalau tidak soto
ayam ya ayam goreng kalau nggak begitu ya fried chicken, bosan banget kan?
Inilah aku, Adinda
Claudia siswi bawel yang saat ini duduk di kelas 3 SMP dan aku putri bungsu
pasangan Bapak Hidayat dan Ibu Suci. Aku lahir di Surabaya, tinggal di
Surabaya, sekolah di Surabaya dan aku sangat mencintai Surabaya. Aku punya
kakak yang sangat bijak dan sangat usil kalau lagi gila, tapi sangat bermanfaat
kalau aku butuh tentor matematika dadakan. Namanya Reynaldy Putra, aku biasa
manggil kak Aldy atau kak hebat. Bagi kak Aldy yang masih duduk dikelas 3 SMA,
masa muda adalah masa dimana kita mencari jati diri yang sebenarnya. “Karena
itu, selagi ada waktu jangan sia-siakan masa mudamu. Carilah info
sebanyak-banyaknya tentang apapun yang ingin kamu ketahui, jangan mudah
menyerah.”kuiingat betul pesan kak Aldy ketika aku mencurahkan isi hatiku yang
sedang galau kepadanya.
Usai makan pagi, aku
segera menuju mobil dan menunggu Papa dan Mama yang masih bingung mencari kunci
rumah yang hilang entah diambil siapa. Kulihat kak Aldy sudah mengeluarkan
motornya dan seketika timbul rasa takutku terlambat ke Sekolah, segera aku
keluar mobil.
“Kak Aldy, Aku bareng
kakak ya. Ini sudah jam 6, aku ada ujian matematika jam pertama kak, aku nggak
mau terlambat hanya karena masalah pencarian kunci.”wajah memelasku berhasil
merayu kak Aldy yang sebenarnya jalan sekolahku dan sekolahnya sangat
berlawanan arah.
“Ma, Pa, Aku berangkat
sama kakak ya. Aku takut terlambat, Assalamualaikum.” Aku hanya berteriak dari
luar rumah entah Papa Mama mendengar atau tidak. Kak Aldy segera menjalankan
motornya dan Akupun tersenyum bahagia, karena akhirnya selama 3 tahun
keinginanku diantar kakak ke sekolah sekali saja terkabul hari ini.
Ujian Matematika tiba,
dengan senang hati dan wajah tersenyum indah bagai sang fajar pagi ini kuterima
soal ujian dan perlahan kukerjakan seteliti mungkin. Dalam waktu 1 jam Aku
sudah berhasil menyelesaikan semua soal dan sangat yakin akan mendapatkan hasil
maksimal. Lain lubuk lain belalang, lain pelajaran lain juga ujiannya. Yah, Aku
sangat kesulitan ketika mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Entah apa
penyebabnya, banyak jawaban yang membuatku galau. Semua yang aku pelajari sama
sekali nol, tidak ada yang keluar satupun.
Sampai di rumah segera
kututup rapat pintu kamar dan tidak sanggup jika malam ini, mama akan dapat
kabar buruk tentang nilai bahasaku dari Ibu Yuli, guru bahasa Indonesia yang
masih sahabat Mama dan selalu melaporkan terlebih dahulu nilaiku pada Mama. Aku
tertidur dalam rasa sedihku dan tak sadar kalau aku melalaikan sholat Ashar dan
Maghrib.
“Dinda...Dinda...Dinda,
kamu ngapain? Ayo makan malam dulu, ini Mama belikan Nasi Rendang” ketukan dan
panggilan Mama dari luar mengagetkanku, segera Aku beranjak bangun menuju ruang
makan. Mama mulai melotot ketika melihatku.
“Kamu bangun
tidur?”tanya Papa, aku hanya mengangguk pelan dan menunduk
“Mama bilang berapa
kali sih, waktu ashar dan maghrib itu nggak boleh tidur, bisa menyebabkan gila
Dinda. Cobalah kamu biasakan tahan dulu hingga usai isya, barulah usai sholat
Isya kamu boleh tidur. Yasudah, kamu makan. Terus segera mandi air hangat
ya.”Nasihat Mama panjang lebar dan aku hanya bisa mengangguk seperti orang lupa
segalanya.
Baru sadar kalau aku
belum makan siang, segera kuhabiskan makan malamku sebanyak-banyaknya dan
kuceritakan ke Kak Aldy dan Papa tentang ujian Matematikaku hari ini. Entah
saat itu Mama pergi kemana habis menasihatiku tadi, mau minum karena salivanya
mulai habis atau ngapain aku tidak tahu pasti. Mama tiba-tiba datang dengan
telephone dalam genggaman dan kembali menatap mataku. Deg....Apalagi yang salah
padaku hari ini?
“Dinda, kamu kan orang
Indonesia lalu belajar bahasa Indonesia berapa tahun?”
“Sejak kecil Ma.”aku
menjawab lirih dan mulai mengingat, pasti Mama barusan dapat laporan dari Bu Yuliana
tentang nilaiku nih, mampus deh.
“Lalu, kenapa nilai
ujian Bahasa Indonesiamu hari ini mendapat 4 din? Kenapa? Mama nggak pernah
ngajari kamu bahasa Indonesia? Kamu sudah Mama beri tambahan belajar di luar,
sudah ada Kakakmu yang siap membantu. Tapi kenapa, semakin kamu besar, Nilai
kamu semakin turun? Bukan hanya di bahasa Indonesia, begitu juga Biologi dan
IPS.”bentak Mama
“Mama nggak pernah
ngajari aku, Mama dan Papa hanya pernah cari uang nggak pernahkan peduli sama
pelajaranku, Mama cuma bisa menuntut nilai yang bagus, nilai yang bagus dan
rangking pertama. Bukannya aku sudah memenuhi itu semua Ma? Kenapa sih, cuma
karena nilai Bahasa Indonesia 4 aja, Mama marah-marah kayak gini? Toh, Mama
kalau ngasih aku tambahan pelajaran di luar juga yang murahan, beda banget sama
kakak yang selalu masuk kelas mahal. Jadi, ya jangan terlalu menuntut Dinda
seperti itu dong.”Aku berdiri dan meninggalkan meja makan dengan hati yang
sangat-sangat bersalah karena sudah berbicara yang tidak sopan pada Mama.
Aku membersihkan diri
dan mengambil air wudhu, Aku menangis dalam sujudku memohon ampunan dari sang
Ilahi, imajinasiku merasakan Allah mendekap tubuhku dan aku sangat tenang dalam
sajadah ini. Tapi hatiku masih merasa sakit dengan semua ini, entah ini sebuah
tekanan batin yang lama kusimpan atau hanya gejala stress yang belum aku
mengerti.
“Dinda, Ini kakak.
Tolong kamu bukakan pintu yah, nggak ada Mama sama Papa kok disini. Dinda
pinter kan?”suara kakak memang sangat lembut cuma kak Aldy malaikatku. Aku
membuka pintu dan segera kupeluk erat kak Aldy, Aku menangis dalam dekapannya
kali ini bukan imajinasi. Aku juga segera menjelaskan penyebab nilai bahasa
indonesiaku hari ini buruk.
“Kakak tahu tekanan
yang kamu alami, kakak juga pernah merasaka bahkan mungkin sampai saat ini.
Tapi kakak mencoba mengabaikan perasaan-perasaan seperti itu, kakak mencoba
berpikir dewasa. Kamu nggak perlu iri sama kakak yang ikut kelas ekslusif di
bimbel, sekarang pelajaran SMA dan SMP itu masih sangat sulit SMA. Kakak yakin
kalau kamu SMA besok, pasti Kamu juga merasakan kelas ekslusif seperti Kakak.
Karena, Kakak dulu juga pernah merasakan kelas biasa seperti kamu dan Kakak
rasa itu tidak penting, yang penting adalah kesadaran dari dalam diri kita
untuk belajar dan bagaimana cara kita belajar sebentar tapi efektif,” Aku hanya
mengangguk mendengar nasihat kakak yang berlogat seperti Pak Mario Teguh.
“Yasudah, kamu nggak
usah nangis lagi. Jaga kesehatan untuk menatap hari esok, buktikan pada Mama
kalau kamu bisa. Oke adek bawel?”
“Oke kak, makasih buat
nasihatnya kakak hebat.”
“Yasudah, good night
Dinda.”Kakak menepuk bahuku dan meninggalkanku yang sudah siap untuk pergi ke
pulau kapuk.
Keesokan harinya,
kudapati diriku berada di ruangan serba putih dan kulihat gantungan infus
disampingku, seperti rumah sakit pikirku, kucubit tanganku dan “Au”. Kakak yang
tidur disampingku terbangun mendengar jeritan pelanku, “Ini nyata”pikirku.
“Kak, Aku kenapa? Mama
sama Papa mana?”
“Kamu tenang ya, 2 hari
ini kamu panas tinggi dan menggigil tanpa sadarkan diri, Mama khawatir sama
keadaanmu dan akhirnya Kami segera membawa kamu kesini. Mama dan Papa masih ada
keperluan dengan dokter. Kamu mau minum?” Aku mengangguk
“Sayang, kamu sudah
sadar. Alhamdulillah, maafkan Mama ya sayang, gara-gara Mama kamu jadi seperti
ini.”ucap Mama yang tiba-tiba datang dengan muka cemas
“Aku yang salah kok Ma,
maafkan Dinda juga ya Ma. Dinda sekarang sudah nggak papa kok, Dinda sudah
sehat Ma. Habis ini Dinda boleh pulang kan? Dinda mau sekolah”
“Dinda, untuk saat ini
Dokter menyuruh kamu untuk istirahat selama 1 minggu hingga kamu benar-benar
pulih. Kamu sabar yah Sayang, kalau Dinda takut tertinggal pelajaran, Papa
panggil guru privat untuk Dinda”Papa mengusap rambutku dan kulihat tangan Papa
terbelit rambut rontokku yang cukup banyak tapi Papa segera menyembunyikan agar
tidak kulihat.
“Pa, Ma, sebenarnya
Dinda sakit apa? Rambut Dinda kenapa rontok? Sebulan lagi Dinda mau UNAS Ma,
Pa. Tolong jelaskan penyakit Dinda, jangan ada dusta diantara kita.”
“Dinda, kamu cuma demam
kok, rambut kamu rontok itu karena kamu stress atau bisa jadi kamu belum
keramas ya?”Kak Aldy mencoba menghiburku Aku pura-pura tersenyum agar Papa Mama
tidak khawatir, tapi jujur aku masih penasaran dengan semua ini.
Selama seminggu di
Rumah Sakit, setiap hari Sahabat-sahabatku di Sekolah datang menjenguk dan
membawakan buku pelajaran lalu menjelaskannya kepadaku. Aku juga tidak mau
bergantung dan hanya tidur di ranjang besi ini. Sesekali kusempatkan diri untuk
belajar sendiri, Sesekali juga Kakak yang menjadi tentor gratisku.
Tiga minggu menjelang
UNAS aku dilarang untuk pergi sekolah, tubuhku benar-benar bertambah lemah saat
ini, mau tidak mau Aku harus tetap dirawat dirumah sakit demi bisa mengikuti
UNAS yang sudah berada di ujung tanduk. Saat kakak UNAS, Aku hanya bisa
mendoakan dari Rumah Sakit dan mencoba tegar agar Kakak fokus di UNASnya. Aku
ingin Kakak bisa meraih hasil UNAS tertinggi, begitu juga dengan diriku.
Waktu demi waktu
berlalu, tibalah saat hari perangku dan tempat perangku ada di rumah sakit ini,
aku siap melaksanakan UNAS hari ini. Aku yakin dengan bekal intensif 1 bulan di
Rumah Sakit bersama Kak Aldy, Mama, Papa dan sahabat-sahabatku aku pasti bisa
mengikuti UNAS dengan lancar.
Alhamdulillah, walaupun
Aku berbeda dengan teman-temanku yang sehat disana tapi aku bisa mengerjakan
dengan lancar. Sebulan menunggu hasil, dokter mengizinkanku dirawat di rumah
saja. Dalam proses menunggu hasil itu, walaupun Kakak sibuk mempersiapkan untuk
tes tulis masuk PTN tapi kak Aldy selalu menemaniku, selalu mengingatkan aku
untuk minum obat dan selalu mengajak aku nonton walau hanya sekedar menonton
spongebob atau kartun lainnya.
Hingga menjelang
pengumuman hasil UNAS, usai dokter memeriksa keadaanku, aku berusaha
mendengarkan hasil diagnosa dokter, terdengar lirih bahwa penyakit kanker
otakku semakin parah dan hidupku tidak lama lagi. Mendengar itu seketika aku
terdiam dan ingin sekali memberontak dengan keadaan ini.
“Kenapa Mama dan Papa
tidak pernah memberi tahu Dinda kalau Dinda mengidap kanker. Kenapa mereka tega
sama Dinda?”batinku bertanya-tanya, air mata mulai menetes.
Aku mencoba bertahan,
umurku tinggal sebentar lagi aku nggak mau mencari masalah sama orang tuaku,
kucoba simpan sendiri rasa sakit hati ini atas pengkhianatan dari keluargaku
sendiri. Tapi kucoba berpikir dewasa, mungkin mereka tidak ingin Dinda sedih.
Yah, aku harus berpikir dewasa seperti kata kak Aldy.
Pengumuman tiba,
seminggu yang lalu Kak Aldy meraih nilai UNAS tertinggi di sekolahnya begitu
juga Aku. Aku tidak menyangka ketika Mama, Papa dan Kak Aldy pagi ini tiba-tiba
datang dan membawa kabar bahagia itu. Aku lulus dengan nilai tertinggi di
Sekolah, tapi surprise itu serasa hanya kulihat dengan mata yang buram, aku
setengah sadar begitu juga ketika aku tersenyum. Aku masih ingat kalau 2 hari
yang lalu adalah hari ulang tahun Mama dan Aku belum sempat memberi kado buat
Mama.
Allah maha adil,
sebelum aku pergi meninggalkan dunia ini setidaknya dengan nilai inilah aku
bisa membahagiakan Keluargaku dan aku mencoba berkata lirih kepada Mama sambil
memberikan selembar surat yang sempat kutulis tadi malam.
“Ma, Nilai UNAS ini
adalah kado untuk ulang tahun Mama. Dinda minta maaf hanya bisa memberi ini
semua kepada Mama, Dinda berharap Mama selalu bahagia disini bersama Papa dan
Kak Aldy.”ucapku lirih, aku mulai melemah dan mendengar hembusan napas yang
berhasil kuhirup kupeluk erat Mama.
“Untuk Papa, maafkan
Dinda yang selalu bawel di rumah ini”
“Dan untuk Kak Aldy,
terimakasih telah menjadi kakak terhebat dalam hidupku. Tolong jaga Mama dan
Papa, bahagiakan mereka ya kak. Dinda pamit dulu”
“Dinda sayang, kamu
ngomong apa sih, kamu kuat din kamu kuat.”Kak Aldy menyemangatiku, tapi aku
rasa ini sudah bukan duniaku
“Lailahailallah
Muhammadurrasulullah”aku mengucap kalimat terakhir untuk dunia ini.
***